10 July 2015

Pengumuman SBM PTN, Antara Ada dan Tiada

Sumber : Kompasiana
Terlintas di pikiranku sejenak tuk lupakan segala halang rintang yang membentang tatkala rembulan perlahan datang menyinari gemerlapnya penerangan malam yang silih berganti mulai bermunculan. Merenung kembali ke zaman dimana aku memulai petualangan baru dalam hidup, petualangan untuk mencari jati diriku yang sesungguhnya, membentuk tujuan yang akan kucapai, dan membangun pandangan hidup tuk terus mengarungi kerasnya kehidupan ini.

Secangkir teh, segelas susu, dan semangkok es pisang ijo menemani iringan nyanyian suara jangkrik dan hangatnya nasi goreng. Laper, makan dulu ya. . . .


. . . . .



. . . . 



. . . .




. . . . 


Zaman SMA memang sudah kulalui, tapi entah kenapa setelah semua ini kulakukan dan kujalani, rasanya, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku ini. Aku saat ini meneruskan bidang akademisku di perguruan tinggi negeri di salah satu kota di Indonesia. Aku masuk perguruan tinggi dengan menelurkan keringat sendiri untuk mengerjakan soal-soal tes yang diberikan. Lantas mengapa hal ini selalu terjadi setiap tahun?

Ya, jujur saja, aku memang dilahirkan untuk mendapatkan perguruan tinggi sebelum tes yang sebenarnya itu dilakukan. SBM PTN atau dulu disebut SNM PTN. Aku tak melakukan tes SBM PTN, karena memang aku sudah mencoba untuk masuk perguruan tinggi tersebut dengan tes tertentu, yaitu tes mandiri. Perguruan tinggi ketika aku lulus memang membuka tes awal untuk menanggulangi lonjakan peserta yang tidak diterima di dalam tes SBM PTN nanti.

Rasa bimbang pun muncul. Dengan apa aku harus membayar semua ini bila memang aku bisa lolos tes? Memang, biaya yang dikeluarkan untuk resmi menjadi mahasiswa disana terasa sangat mahal. Empat puluh lima juta rupiah. Aku harus membayar itu. Kenapa harus? Karena aku lolos tes dan masuk ke salah satu jurusan yang aku pilih.

Sebelum SBM PTN, aku sudah menjadi calon mahasiswa disana asal melunasi segala biaya yang ada. Perasaan kacau segera memuncah di sela-sela keringat yang bercucuran. Kalau aku tidak membayar ini, dan mencoba mengikuti tes SBM PTN, apakah aku terjamin bisa diterima? Bila tidak, ya kesempatan kuliahku menjadi terlambat atau bahkan hilang. 

Dengan bantuan doa dan pertimbangan yang matang, maka aku lunasi segala biaya yang ada untuk menjamin masa depanku nanti. Tidak murah, jelas itu. Entah apa yang ada di pikiranku dan orang tua ketika itu, yang penting aku resmi menjadi mahasiswa sebelum tes SBM PTN. Di sisi lain, aku merasa bangga, ketika ujian sekolah diadakan (ujian sekolah bertepatan dengan pengumuman penerimaan tes mandiri), aku sudah resmi menjadi mahasiswa, kesempatan yang belum ada pada teman-temanku di sekolah. Nilai sekolah dan ujian nasional belum keluar, aku sudah menjadi calon sarjana. 

Sombong? Hahahahaha. . . .
Sampai sekarang aku masih belum lulus dan masih berkutat dengan tugas akhir, bahkan teman-temanku yang dulu ikut SBM PTN sudah lulus duluan, jadi sekedar berbagi cerita tentang perasaan ketika tidak mengikuti SBM PTN, tes sesungguhnya masuk perguruan tinggi.

Dan, waktu terus berjalan hingga sekarang, di saat seperti ini, Pengumuman SBM PTN, aku selalu merasa kurang lengkap untuk menjadi mahasiswa sesungguhnya. Biarkan perasaan itu akan terus ada dan tiada tuk lengkapi dinginnya malam yang sesunyi ini.

Kenapa terus ada dan tiada? Karena aku sayang kamu.

Sekian, dan terima kasih.



6 comments:

  1. masdirga baper. btw sbm itu rumiit ya, mengerikan

    ReplyDelete
    Replies
    1. zzzz. . itu tidak usah dibicarakan, tidak rumit dan mengerikan kalau sudah tahu triknya huehuehuehue

      Delete
  2. antara ada dan tiada seperti lagunya utopia :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha iya, antara ada dan tiada perasaan ini :D

      btw, namanya asli gan? :D

      Delete
  3. Dulu aku juga dah jadi calon mahasiswa PTN ketika yang lain masih ujian *sombong dikit :D

    ReplyDelete